MOJOKERTO, SuryaNews.Net – Husein bin Umar Batfari tampak keluar dari dari balik pintu penjara Kalisosok, Krembangan, Surabaya dini hari itu.
Dengan diapit dua petugas sipir, pria yang lebih dikenal dengan nama Oesin Bestari itu lantas diangkut ke dalam mobil dengan tujuan Pantai Kenjeran.
Setiba di lokasi, Oesin sudah ditunggu satu regu tembak dari Komando Daerah Kepolisian (Komdak) X Jawa Timur (sekarang Polda Jatim).
Petugas selanjutnya menggiring Oesin ke tiang kayu yang ditancapkan di pasir pantai. Setelah itu, kedua tangan Oesin diikat ke belakang menempel ke tiang tersebut.
Terlihat seorang tokoh agama menghampirinya untuk menuntun Oesin berdoa. Oesin diminta berdoa untuk meminta ampun atas segala dosa yang telah dilakukannya. Setelah selesai berdoa, kali ini petugas dari Kejaksaan yang menghampirinya.
Petugas Kejaksaan itu menanyakan apakah Oesin ingin ditutup matanya atau tidak sebelum dieksekusi. Namun Oesin tak menjawab tegas pertanyaan petugas tersebut.
“Terserah bapak,” jawab singkat Oesin.
Mendengar jawaban Oesin ini, petugas lantas meminta untuk menutup mata Oesin dengan kain hitam. Sejurus kemudian, Jaksa meminta kepada komandan regu tembak segara melaksanakan eksekusi. Beberapa detik kemudian, terdengar rentetan tembakan.
Sebutir timah panas menembus tubuh Oesin tepat di jantungnya, hingga dirinya terkulai di tiang kayu tepat menjelang subuh. Dokter yang berada di lokasi lalu menghampiri dan menyatakan Oesin telah tak bernyawa lagi.
Jasadnya lalu dibawa ambulans untuk dibawa ke rumah sakit. Setelah diautopsi, jenazah Oesin dibawa ke pemakaman umum di kawasan Gubeng untuk dikuburkan. Eksekusi hukuman mati ini terjadi pada Kamis, 14 September 1978.
Pria keturunan Arab, kelahiran Krian, Sidoarjo, Jatim pada 1926 itu dieksekusi setelah menjalani masa tahanan selama 14 tahun. Oesin divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya karena terlibat pembunuhan berantai pada tahun 1964.
Oesin divonis hukuman mati karena Majelis Hakim menilai kejahatannya yang membantai dan merampas barang-barang berharga rekan bisnisnya tak bisa diampuni. Pembunuhan yang dilakukan Oesin diketahui terjadi pada rentang waktu 1961 hingga 1964.
Pembunuhan tersebut dibantu oleh Alwi bin Umar Batfari dan Andi Iteng, yaitu adik kandung dan pembantu Oesin. Karena hanya membantu melakukan pembantaian, keduanya hanya dijatuhi hukuman 20 tahun pidana penjara.
Kisah kekejaman Oesin ditulis dalam buku berjudul ‘Oesin Pendjagal Manusia’ karya Ham Djoe Hio pada 1964. Juga menjadi laporan Jacob Vredenbregt yang dimuat majalah Bzzlletin, edisi 22 tahun 1992-1993 dengan judul ‘Hoesin bin Oemar Batfari, handelaar in huiden’ (Husin bin Oemar Batfari, Pedagang kulit).
Pembunuhan berantai yang dilakukan Oesin Cs ini terungkap secara tak sengaja oleh petugas keamanan kampung (bayan) yang tengah berpatroli di Desa Seduri, Mojosari, Mojokerto, pada Senin malam, 11 Mei 1964.
Saat itu, petugas mendapat laporan ada keributan dan suara aneh mirip hewan yang dicekik dari rumah yang disewa oleh Oesin, yang dikenal sebagai jagal dan pedagang kulit kambing. Dua petugas keamanan mendatangi rumah Oesin untuk memastikan apa yang terjadi.
Dua petugas itu lantas mengetuk pintu rumah. Oesin yang keluar kemudian menjelaskan, suara gaduh berasal dari temannya yang mengalami sakit perut. Kedua petugas keamanan itu percaya begitu saja dan langsung pergi melanjutkan patroli.
Namun, belum jauh beranjak dari tempat itu, mereka kembali mendengar suara teriakan aneh. Mereka berusaha mengintip melalui celah-celah di rumah tersebut. Betapa kagetnya ketika mereka melihat para penghuni di dalam rumah tengah menyiksa seorang pria.
Keduanya lari dan melaporkan kejadian tersebut kepada Polisi. Lalu keduanya dan Polisi kembali mendatangi rumah kontrakan Oesin. Polisi mendobrak pintu dan mendapati tangan Oesin, adiknya Awli serta temannya Andi Ahmad (Iteng) berlumuran darah. Mereka juga melihat tubuh seseorang terbujur kaku di atas ranjang.
Belakangan diketahui sosok yang telah tewas terbujur kaku tersebut adalah Masfud yang dikenal sebagai pedagang emas asal Kauman, Mojokerto. Saat akan ditangkap, Oesin sempat menyogok Polisi, namun Polisi menolaknya dan menggelandang Oesin, Alwi dan Iteng ke kantor Polisi.
Beberapa hari kemudian, Polisi melakukan penggalian. Di tempat itu ditemukan tiga kuburan korban lainnya atas nama Ramelan, Soepardi, dan Soewandi. Bukan hanya mereka saja yang menemui ajal di rumah Oesin di Seduri. Ternyata, Oesin juga membunuh korban lainnya dan mayatnya dibuang ke Sungai Brantas.
Para korban diangkut menggunakan truk atau mobil sewaan. Tapi bila tak mendapatkan sewaan mobil, Oesin meminta adik dan pembantunya untuk menguburkan korban di tempat itu. Korbannya dikubur dengan kaki bagian bawah diikat ke bagian paha (ditekuk) agar mereka tak menggali lubang yang besar.
Setelah pengakuan Oesin, Polisi lantas melakukan pemeriksaan rumahnya di Jalan Kalimati Gang II, Desa Jagalan, Kecamatan Kranggan, Mojokerto, dan juga rumah adiknya, Achmad, yang juga tinggal di Kauman. Di rumah itu, Polisi menemukan sembilan kuburan. Tapi jumlah itu bertambah menjadi 25 orang korban.
Modus Oesin selalu memilih korbannya pedagang yang dikenalnya di pasar lokal. Dia mendekati mereka dengan merayu iming-iming mendapatkan prospek keuntungan besar bisnis dagang kulit, pupuk, emas dan komoditas lainnya. Banyak yang tergiur dan tak curiga dengan niat jahat Oesin yang sebenarnya untuk menguasai harta benda mereka.
Calon korban yang tergiur keuntungan selalu dipancing datang ke rumah Oesin di Seduri. Mereka disuguhi kopi atau teh manis, lalu diajak bincang-bincang dengan Alwi dan Iteng.
Sedangkan Oesin bersembunyi di balik tirai mengawasi situasi. Bila sudah ada kesempatan, Oesin langsung memukul kepala korban dengan lesung atau sepotong besi. Sekali pukul korban langsung tewas di tempat.
Namun aksinya saat membunuh Masfud, berbeda dengan korban lainnya. Sebab, Masfud sempat menjerit sebelum tewas. Suara jeritan ini ternyata hingga keluar dan didengar warga setempat dan kemudian dilaporkan ke petugas patroli yang sedang lewat.
Majelis Hakim PN Surabaya lantas menjatuhi hukuman mati pada 1967. Hukuman itu dijatuhkan karena Oesin tidak menunjukkan penyesalan, padahal telah membantai puluhan orang.
Oesin sendiri sempat memohon grasi ke Presiden Soeharto pada 1977, tapi ditolak. Oesin merupakan sosok penjahat yang pertama dihukum mati selama Republik Indonesia berdiri atau di era Orde Baru. (*/red)