Sepenggal Kisah Penjaga Pintu Perlintasan Kereta, Di Tengah Kerasnya Kehidupan Jakarta.

Sepenggal Kisah Penjaga Pintu Perlintasan Kereta, Di Tengah Kerasnya Kehidupan Jakarta.

Jakarta, SuryaNews.net – Herman seorang warga yang bekerja sebagai penjaga perlintasan sebidang kereta api (KA) depan ITC Roxy Mas, Jalan Kyai Tapa, Gambir, Jakarta Pusat. Tidak hanya membantu warga yang hendak menyeberang, dia juga menghadang warga apabila ada kereta yang hendak melintas. Herman mengatakan, pendapatannya tidak seberapa. Dia enggan menyebutkan jumlahnya, tapi bergurau bahwa jumlah itu cukup untuk sesuap nasi. “Anak-cucu saya banyak. Kalau istri sudah meninggal, sudah dua tahun ini akibat darah tinggi,” ujar dia. Sesaat setelah menceritakan soal istrinya, Herman menangis. Dia mengaku sedih jika mengingat istri.
“Awas, berhenti dulu, ya! Ada kereta mau lewat. Tuh…!” serunya ketika ada gerbong kereta api yang melintas. Pria itu berdiri sambil memegang kaleng plastik untuk menarik sumbangan warga. Ia berdiri bersandar di sebuah pintu gerbang ala kadarnya di sebuah persimpangan pelintasan kereta api dengan sebuah jalan kecil yang dilewati warga. Sesekali ia mondar-mandir untuk membantu warga, terutama mereka yang berusia lanjut, untuk dipandu menyeberangi rel kereta api.

Selama lima tahun dia bekerja sebagai penjaga rel, dia selalu memprioritaskan pendapatannya untuk keluarga, terutama istri. “Enggak pernah bosan kerja begini. Demi Allah, saya bela-belain enggak makan, yang penting bini bisa makan,” tutur Herman. “Kalau bini enggak kelaparan kan enak. Biarpun saya lapar, yang penting bini bisa makan. Saya enggak ngada-ngada,” lanjut dia.

Herman tinggal di sebuah kontrakan tidak jauh dari rel. Dalam sebulan, dia harus membayar sewa sebesar Rp 1 juta. Biaya itu dia bagi dua bersama anak laki-lakinya, masing-masing membayar Rp 500.000. Dalam kontrakan tersebut, dia tinggal bersama anak-anak dan cucu-cucunya. “Anak udah pada gede, ada empat, cucu ada sembilan. Tapi, saya (yang) urus anak cucu, yang nyari-nyari makan tuh saya. Ngehidupin mereka buat makannya, juga susunya,” tutur Herman. Herman mengaku, sebelum istrinya meninggal, dia tidak pernah mencuci dan masak. Namun, kini keadaan mendorongnya untuk bisa mengurus rumah tangga.
“Bisa dibilang menghidupi tujuh orang (sekarang). Nyuci pakaian, masak. Saya (juga) cuci piring, bebenah, ngepel. Sebelum ditinggalin bini, saya belum pernah nyuci masak gitu,” kata dia. Saat Herman melakukan pekerjaannya, dia sempat membantu seorang wanita berusia lansia untuk menyeberang. Sebagai ucapan terima kasih, wanita itu memberi Herman selembar uang Rp 20.000-an. “Makasih ya, Dik,” begitu kata wanita itu sambil menganggukkan kepalanya kepada Herman. Pria kelahiran 1958 itu langsung semringah, balas mengangguk kepada Wanita tersebut. “Hati-hati ya, awas jangan meleng!” seru dia.

“Nih, Rp 20.000. Buat beli beras, buat beli susu!” kata dia riang. Di tengah kerasnya Jakarta, ia tetap menemukan orang-orang yang masih peduli pada profesi seperti yang ia lakoni. Meski kerap dipandang remeh karena pekerjaannya, Herman tetap tegar menjalaninya. Ia tetap menemukan kasih dari para warga yang berkenan berbagi dengan dirinya. Dari penghasilannya itu, ia gunakan juga untuk mengasihi anak dan cucu-cucunya.

Penulis: (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *